Dia pun dengan bangga berkisah kuliah sambil berdagang. Yah, sebagai seorang putra Minang, jiwa dagang memang melekat pada dirinya. Jutaan rupiahpun ia kantongi setiap bulanya. Jumlah yang cukup besar untuk ukuran tahun 90-an. Namun tuturnya, sebagai seorang lajang, ia senantiasa menggunakan jerih payahnya untuk memuaskan gaya hidup hedonisnya.
Putaran roda kehidupan membuat Uda tersungkur. Kehabisan modal membuatnya banting setir dari penjual pakaian menjadi tukang koran. Dengan penghasilan seadanya ia harus menghidupi seorang istri dan anaknya yang tinggal di kontrakan rumah petak Pulo Gadung. Masih menurut kisahnya, teman-teman seperjuangan di kampus dulupun mulai menepi dari kehidupanya. “Kebanyakan dari mereka udah jadi orang”, ujarnya sambil menarik napas panjang-panjang.
Suatu Pagi…
Seperti biasanya aku berjalan kaki menapaki jalanan Komplek Kelapa Gading. Langkahku terhenti di depan kantor Pos. Pria berpakaian lusuh dengan setumpuk koran dan sepeda bututnya tak lagi kelihatan. Demikian pula keesokan harinya. Hanya seorang pria berbadan kekar dan rambut ikal dengan peluit di mulutnya sibuk merapikan barisan sepeda motor para pengunjung. “Kemana Uda?”, tanyaku. “Pulang Kampung”, jawabnya singkat. Waktu itu aku berfikir Uda sudah lelah dengan kerasnya irama kehidupan ibu kota.
Januari 2010…
Akhir pekan yang cerah. Pria yang beberapa bulan tidak menampakkan batang hidungnya, pagi itu kembali muncul, tapi kali ini tanpa sepeda buntutnya. Dengan bergegas ku menghampirinya dan menyapanya, “Apa kabar Uda? Kemana aja nggak pernah kelihatan”. Dengan tatapan mata sayu dan guratan beban di wajahnya mulaiah ia berkisah. Ia terpaksa menitipkan istri dan anaknya kepada mertua. “Nggak sanggup lagi aku ngontrak rumah di Jakarta”, ujarnya. “Saat ini aku tidur di rumah makan pamanku sekalian jaga barang-barang paman”. Lantas kemana sepeda butut yang selalu setia medampinginya selama ini.Ternyata, ia terpaksa menjualnya untuk tambahan ongkos pulang kampung.Yang pasti stumpuk koran itu senantiasa mendampinginya entah sampai kapan.
Itulah kali terakhir aku bertemu denganya. Beberapa hari kemudian aku memutuskan untuk ‘cuti’ selamanya dari tempatku bekerja. Dengan berat hati kuucapkan “Selamat Tinggal ibu kota”. Satu yang takkan kulupa, seorang pria dengan setumpuk koran dan sepeda buntutnya. Sungguh telah engkau ajarkan kesabaran dalam memgarungi kerasnya samudera kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar